I
Mengenang Hari Pendidikan, nampaknya ada anasir kenangan yang mungkin terlupakan. Banyak dari kita tak pernah lagi membuka album kenangan tentang siapa dan apa yang ditinggalkan oleh sang begawan, R.M Soewardi Soerjaningrat atau yang akrab kita kenal Ki Hajar Dewantara, di mana tanggal lahirnya menjadi nyawa dari Hari Pendidikan.
Barangkali salah satu pernyataannya pada dua bulan sebelum kewafatannya, 26 April 1959, akan membuka ingatan kita tentang siapakah Ki Hadjar Dewantara,
βKalau suatu ketika ada orang meminta pendapatmu, apakah Ki Hadjar itu seorang nasionalis, radikalis, sosialis, demokrat, humanis, ataukah tradisionalis. Maka katakanlah bahwa aku hanyalah orang Indonesia biasa saja, yang bekerja untuk Indonesia dengan cara Indonesia.β
Tampak di mana beliau meletakkan penekanan bahwa ia hanyalah orang Indonesia biasa saja yang bekerja dengan cara Indonesia. Hal ini jelas terasa pada apa yang telah direalisasikannya dalam perjuangannya di bidang pendididikan.
Pada mulanya adalah Sarasehan Selasa Kliwon, majelis yang dipimpin oleh Ki Ageng Suryomentaram pada 1921-1922, di mana Ki Hadjar menjadi salah satu anggotanya. Para punggawa perkumpulan ini memiliki keyakinan bahwa cita-cita merdeka tidak cukup diupayakan dengan pergerakan politik saja, melainkan harus ditunjang dengan pendidikan rakyat yang menumbuhkan jiwa merdeka di kalangan rakyat banyak. Oleh karena itu, diputuskanlah R.M Sowardi Soerjaningrat atau Ki Hadajar Dewantara ditugaskan untuk memimpin pelaksanaan pendidikan anak-anak dan Pengeran Soerjamentaram ditugaskan untuk memimpin pelaksanaan pendidikan orang dewasa (tua), untuk mencapai cita-cita dunia tertib dan damai.
Kala Ki Hadjar berusia 34, beliau menawarkan konsep pendidikan baru yang dinilainya sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, yang juga digunakannya sebagai alat perlawanan pendidikan barat ala kolonial yang maklum diterapkan, bahkan tertanam, dan mungkin telah tumbuh subur. Beliau mengkritik pendidikan barat ala kolonial yang kebanyakan didasarkan pada regering, tuch, and orde (perintah, hukuman, dan ketertiban). Menurutnya jika kita langsung meniru pendidikan yang melulu dengan dasar tersebut, maka akan berdampak kurang positif terhadap anak, ββ¦ Anak-anak rusak budi pekertinya, disebabkan selalu hidup di bawah paksaan dan hukuman, yang biasanya tiada setimpal dengan kesalahannya. Kalau menjadi orang tua, ia tiada akan dapat bekerja, kalau tiada dipaksa, kalau tidak ada perintah.β Selain itu, pendidikan seperti demikian dinilainya hanya mementingkan perkembangan intelektualisme sehingga mengesampingkan pertumbuhan budi pakerti dan pertumbuhan batin anak. Menurutnya, pengajaran di sekolah-sekolah yang banyak berfokus pada pencarian dan pemberian ilmu dan kecerdasan pikiran saja akan melahirkan egoisme, individualisme, dan materialisme seperti yang dikatakannya, ββ¦Kita sering juga mementingkan pengajaran yang hanya menuju terlepasnya pikiran (intellectualisme), padahal pengajaran itu membawa kita kepada gelombang pendidikan yang tidak merdeka (economisch afhankelijk), dan memisahkan orang-orang terpelajar dengan rakyatnya.β
Lain daripada itu, Ki Hadjar juga mengkritik pola hidup masyarakat yang kurang menyadari pentingnya mempunyai kebanggaan dan pentingnya mempertahankan jatidiri bangsa Indonesia yang berbudaya. Banyak dari masyarakat dinilainya abai terhadap hal-hal tersebut, yang akhirnya berimbas pada timbulnya rasa bangga akan peniruan terhadap orang-orang Barat. Dalam buku pertama (Pendidikan), Ki Hadjar mengeluh:
βMasih ada satu keadaan lagi, bahwa kita sudah dianggap baik, sesuatu yang membuat kita mirip dengan orang Belanda, hal mana disebabkan oleh perasaan-perasaan kurang dalam diri kita, β¦ Kita merasa ada semu kebahagiaan dan kepuasan sedikit dalam diri kita, kalau kita berkesempatan untuk bergaul dengan orang Eropa, berbicara Belanda, sekalipun dengan bangsa sendiri, atau berpakaian barat, mengatur rumah kita secara Baratβ¦.β
Sejalan dengan keluhannya, Ki Hadjar memberikan pasemon kepada pembacanya dengan menyertakan satu kutipan dari salah satu sosok kiblat pemikirannya:
βPada hemat saya, sekalipun meniru itu bisa baik, Belanda yang dapat berdiri di atas Chauvinismenya sendiri, sulit untuk menahan tertawanya kalau ia melihat kita dengan susah payah dan sungguh-sungguh hendak mirip dengan orang Eropa. Seperti Rabindranath Tagore Kita bisa mengeluh: βHidup kita adalah kutipan dari hidup orang Barat; suara kita adalah kumandang Eropa; kita ini yang seharusnya orang intelek tidak boleh lebih dari sebuah tas yang penuh keterangan-keterangan; dalam jiwa kita ada kekosongan, hingga kita tidak sanggup untuk meresapkan apa-apa yang indah dan bernilai.β Atas dasar pandangan-pandangan tersebut, Ki Hadjar menawarkan pendidikan yang tidak hanya mendidik keintelektualan, namun juga budi pekerti yang sesuai dengan kodrat yang tersimpan dalam kebudayaan.
II
Senin Kliwon, 3 Juli 1922, berdiri Perguruan Nasional Taman Siswa, yang memberikan nafas baru bagi pendidikan di Indonesia yang tokoh sentralnya adalah bapak pendidikan kita. Ki Hadjar lebih memilih istilah taman dibanding sekolah memiliki alasan tersendiri. Faiz (2023), menyebut Ki Hadjar lebih memilih istilah taman karena suatu hal:
βKi Hadjar lebih memakai istilah taman karena berkonotasi keindahan, kegembiraan, alamiah, dan kebebasan untuk bermain serta memilih permainan. Dalam taman terkandung hak anak untuk memilih permainan yang diinginkannya dan tanggung jawab orang tua untuk mengawasi dan mengarahkan agar anak tidak melakukan permainan yang berbahaya.β
Ki Hadjar memang ingin mengenalkan pendidikan yang dinilainya sesuai untuk anak-anak, yang tanpa diperintah-perintah, tanpa paksaan, ancaman-ancaman ataupun hukuman. Cukuplah kiranya pendidikan menyediakan tempat yang tepat bagi anak-anak untuk bertumbuh sesuai minat dan bakatnya, sesuai kodrat alami yang dibawa anak-anak sejak lahir dan bertumbuhkembang bersama lingkungannya masing-masing, tanpa harus membuatnya menjadi pribadi yang sama dengan anak yang lain. Namun, tetap perlu pengawasan dari orang-orang yang mengerti dan yang sadar untuk membimbing anak supaya tidak memilih sesuatu yang membahayakannya. Selaras dengan hal ini, Ki Hadjar menganalogikan seperti petani dan padi;
βSeorang tani, (yang dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan seorang pendidik) yang menanamkan padi misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya padi. Ia dapat memperbaiki tanahnya, memelihara tanamannya, memberi rabuk dan air, memusnahkan ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanamannya, begitu sebagainya; tetapi meskipun ia dapat memperbaiki pertumbuhan tanamannya itu, mengganti kodrat-iradatnya padi, ia tak akan dapat. Misalnya ia tak akan dapat menjadikan padi yang ditanamnya itu tumbuh sebagai jagung atau harus berbuah dalam 3 bulan, pun tak dapat ia memeliharanya sebagai caranya memelihara tanaman kedele dan sebagainyaβ¦β Dalam mendidik, sosok Ki Hadjar sendiri sepertinya berhasil mengabdikan dirinya sebagai contoh yang ideal akan ajaran-ajarannya, seperti tampak dalam garis besar perjalanannya memburu ilmu, yang tentunya bercampur berbagai gaya pendidikan yang beliau kenyam, dari rasa pendidikan ala timur maupun barat. Tapi, barangkali berkat karakter kuat yang beliau miliki, kesadaran tinggi akan kodrat yang beliau bawa dan yang membentuknya, juga atmosfir yang mendukung dari perkumpulan yang beliau akrabi, Ki Hadjar akhirnya mampu mengolah ajaran pendidikan yang dibawanya. Misalnya dari fredriech Frobel, Rosseau, Maria Montessori, juga Rabindranath Tagore disesuaikannya dengan karakter orang Indonesia serta disesuaikannya dengan segala kebudayaan serta kebahasaan yang dimiliki oleh masing-masingnya. Sehingga tidak memaksakan anak terdidik dengan di luar kodratnya, tidak menanam padi di tanah yang cocok untuk menenam jagung, juga tidak memaksakan padi menjadi jagung ataupun kedelai.
III
Dalam menyebarluaskan ajarannya, Ki Hadjar mengenalkan konsep-konsep pendidikan yang sederhana, mudah dipahami (khususnya bagi orang Jawa), namun memiliki makna yang mendalam, serta mungkin memiliki daya yang kuat jika diterapkan. Uniknya konsep-konsep ini disajikan kebanyakan dengan konsep tri atau tiga, yang kurang lebih ada enam tri konsep, yaitu 1) Tri Rahayu, 2) Tri Sentra, 3) Tri Loka, 4) Tri Mong, 5) Tri Nga, 6) Tri No, dan 7) Tri Kon.
1). Tri Rahayu
Ketika beliau berada di Sarasehan Selasa Kliwon, dirumuskan ada tiga tujuan dari pendidikan yang disepakati dan dikenal dengan konsep Tri Rahayu (tiga untuk selamat dan sejahtera);
- Hamemayu Hayuning Sarira (memelihara diri)
- Hamemayu Hayuning Bangsa (menjaga dan memelihara bangsa)
- Hamemayu Hayuning Bawana (Menjaga dan memelihara dunia)
Dengan menanamkan prinsip Tri Rahayu ini pendidikan diharapkan mampu mendidik setiap pribadi untuk bisa membereskan dirinya terlebih dahulu, secara lahir maupun batin. Jika perihal apapun yang berkaitan dengan pribadi masing-masing ini beres, maka bangsa akan beres, jika bangsa beres, maka dunia pun demikian juga.
2). Tri Sentra
Tri Sentra pendidikan dikenal juga dengan sebutan Tri Pusat pendidikan, atau tiga tempat pendidikan yang ideal bagi anak; 1) alam keluarga, 2) alam pawiyatan atau sekolah, dan 3) alam pergaulan siswa. Ketiganya harus saling bersinergi supaya pendidikan tidak gagal. Tiap-tiap pusat ini harus mengetahui kewajibannya sendiri-sendiri.
1. Adapun alam keluarga terkhusus mendidik budi pekerti dan laku sosial, Ki Hadjar dalam Buku I (Pendidikan),
βKepentingan keluarga sebagai pusat pendidikan tidak hanya disebabkan karena adanya kesempatan sebaik-baiknya untuk mengadakan pendidikan individual dan sosial, akan tetapi karena ibu-bapak dapat menanam segala benih kebatinan yang sesuai dengan kebatinannya sendiri, di dalam jiwanya anak-anak; inilah haknya orang tua yang terutama dan tak boleh dibatalkan oleh orang lain.β
Selain itu beliau juga menyampaikan pentingnya pendidikan dalam keluarga yang selaras dengan hamemayu hayuning salira:
βMenghidupkan, menambah dan menggembirakan perasaan kesosialan tidak akan dapat terlaksana, jika tidak didahului pendidikan diri (pendidikan individual), karena inilah dasarnya pendidikan budi pekerti, yang akan dapat menimbulkan rasa kemasyarakatan atau rasa sosial.β
Dari sini nampak betapa keluarga seperti lagu yang dinyanyikan Novia Kolopaking, terlebih bagi pendidikan bertumbuhkembangnya anak, yang sekarang sepertinya banyak dari peran keluarga mulai digantikan dengan gawai, bahasa anak yang dititipkan pada serial kartun melayu, bahasa ibu di daerah-daerah digantikan dengan bahasa kedua, ataupun bahasa ke tiga, persis seperti yang dikhawatirkan ki Hadjar,ββ¦ bahasa sebagai alat pengajaran tiadalah kecil pengaruhnya terhadap pendidikan. Anak yang sejak kecil selalu dibiasakan dengan bahasa asing dan dijauhkan dari bahasanya sendiri, ia akan kehilangan perhubungan batin dengan orang-orang tuanya sendiri, dan kelak, di kemudian hari ia juga akan terasing perasaannya terhadap bangsanya sendiri. Bukti tidak perlu jauh-jauh dicari. Kalau ada anak muda yang lalu sombong, sampai berani melukai perasaan orang tuanya maupun bangsanya, itulah buah pengajaran dan pendidikan yang tidak berdasarkan kebangsaan. β¦β
2. Setelah alam keluarga, pawiyatan atau sekolah menjadi pusat pendidikan kedua yang memiliki tupoksi sebagai tempat untuk mencari dan memberikan ilmu pengetahuan, di samping pendidikan intelek. Di pusat pendidikan kedua ini difungsikan juga sebagai tempat bertemunya pendidik dan orang tua anak untuk menyamakan visi dan misi pendidikan yang selaras.
3. Pusat pendidikan ketiga, alam pergerakan pemuda atau pergaulan dalam lingkungannya, menjadi tempat bagi anak dalam melatih kemampuan bersikap, bertanggungjawab, serta mengaplikasikan atas ilmu yang didapatnya dari keluarga dan sekolah. Pada ranah ini anak akan terbentuk sikap dan pengalamannya dalam berlaku sosial. Misalnya jika di ranah keluarga dan sekolah, kesalahan yang dilakukan anak sedikit-banyak masih berada di bawah tanggungjawab orang tua ataupun pendidik. Namun, di alam pergaulannya, sikap yang dipilih dan laku sosial yang dijalankan merupakan tanggungjawab penuh dari si anak.
Jika ketiga pusat pendidikan ini saling bersinergi dan menemui keberhasilannya, maka anak akan memiliki pribadi yang berpengetahuan luas, selain memiliki karakter yang baik dan kuat. Sebagaimana yang diharapkan ki Hadjar:
βApabila sistem pendidikan dapat memasukkan alam keluarga itu ke dalam ruangannya, maka ibu-bapak itu, terbawa oleh segala keadaannya, akan dapat berdiri sebagai guru (pemimpin laku adab), sebagai pengajar (pemimpin kecerdasan pikiran serta pemberi ilmu pengetahuan) dan sebagai contoh laku kesosialan; niscayalah bersatunya alam keluarga, alam perguruan, dan alam pergerakan pemuda itu akan dapat lebih berhasil daripada sistem sekolah model Barat, yang kita alami pada zaman kini.β
Oleh karena itu, Ki Hadjar yang pernah menyatakan, βSetiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah. Pendidikan tak berhenti di bangunan sekolah saja, tapi juga di rumah, di jalan, dan di mana-mana,β akan kembali tercenung di kepala kita.
3). Tri Loka
Konsep ini mungkin menjadi konsep yang paling familiar dengan kita, yang barangkali sering kita baca di baliho, di dinding-dinding sekolah, ataupun kita dengar dari seminar-seminar pendidikan. konsep Tri (tiga tempat atau lebih tepatnya tiga posisi) dijadikan sebagai dasar dalam mendidik anak. Adapun tiga posisi yang dimaksud yaitu;
- Ing Ngarsa Sung Tuladha, jika pendidik, baik orang tua, guru, atau masyarakat, berada di depan anak-anak, maka pendidik memberikan contoh dan menjadi contoh, baik dari laku, sikap, maupun ucap.
- Ing Madya Mangunkarsa, jika pendidik berposisi bersama anak, atau sejajar dengan anak, maka pendidik membangun semangat anak untuk mengembangkan potensi yang ada dengan cara yang kreatif pun inovatif.
- Tut Wuri Handayani, jika pendidik berposisi di belakang, maka pendidik membimbing anak, juga mendukungnya dengan segala upaya, serta menguatkannya.
4). Tri Mong
Konsep ini sering juga dikenalkan dengan Sistem Pamong. Berkaitan dengan ini, Ki Hadjar menjelaskan dalam buku pertama (Pendidikan) tentang metode Among yang digunakannya untuk menggantikan pendidikan yang beralaskan syarat paksaan, hukuman, ketertiban:
ββ¦.maka dari itu pendidikan yang beralaskan syarat paksaan, hukuman, dan ketertiban (regeering, tuch, and orde)β¦ kita anggap memperkosa hidup kebatinan anak. Yang kita pakai sebagai alat pendidikan ialah pemeliharaan dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri, inilah kita namakan βAmong Methode.ββ Dari Konsep Tri Mong, Mong yang pertama, untuk kata Momong; menanamkan pengajaran hal-hal yang baik, ataupun nilai-nilai yang baik. Mong yang kedua untuk menyimpan kata Among; memberikan contoh terus-menerus dan bertahap supaya ditiru oleh anak tanpa ada paksaan. Kemudian untuk Mong yang ketiga sebagai tempat bersembunyinya kata Ngemong; menjaga, merawat, dan mengawasi perkembangan anak, jangan sampai potensi yang dimilikinya mati.
5). Tri Nga
Konsep Tri Nga dikenalkan ki Hadjar sebagai ranah pendidikan anak yang perlu digarap dalam pendidikan; 1) Ngerti, menjadi bagian dari konsep Tri Nga yang pertama, yang kita kenal di pendidikan sekarang sebagai aspek kognitif (bisa mengerti dan memahami). 2) Nga yang kedua yakni Ngrasa, atau sekarang kurang lebihnya bisa dihampirsamakan dengan aspek afektif atau aspek sikap. 3) Adapun Nga yang terakhir yakni Ngelakoni, laku, melakukan sesuatu, atau bisa kita samakan dengan aspek psikomotorik (aspek gerak). Melalui konsep Tri Nga, Ki Hadjar terlihat sangat mementingkan aspek sikap, selain aspek kognitif serta psikomotorik. Beliau memilih kata Ngrasa (merasa) sebagai penunjuk perasaan halus manusia. Jika hanya memintarkan daya kognitif saja tanpa menajamkan perasaan suci manusia ataupun nilai-nilai kemanusiaan maka mungkin akan terwujud seperti yang dikatakan oleh salah satu penulis Inggris, Clive Staples Lewis, βPendidikan tanpa nilai-nilai kemanusiaan, tampaknya membentuk manusia menjadi setan yang lebih pintar.β
6). Tri N
Konsep ini dimaksudkan Ki Hadjar sebagai pemahaman terhadap level belajar anak. Level belajar anak yang tersimpan dari konsep Tri N yang pertama adalah Nonton (menonton), pada level ini seorang anak lebih banyak menyerap sesuatu dari panca indranya secara pasif, seperti melihat ataupun mendengar. N yang kedua adalah Niteni (mengamat-amati), pada level ini, anak akan lebih memperdalam sesuatu yang dilihatnya seperti dalam proses menganalisis atau menelaah sesuatu. Adapun N yang terakhir yakni Nirokke (menirukan), pada level ini anak akan menirukan apa yang telah ia serap melalui level belajar pada konsep Tri N yang pertama dan kedua sesuai dengan pribadinya si anak.
7). Tri Kon
Dalam proses pendidikan anak, ki Hadjar mengenalkan istilah Tri Kon: 1) kontinyu, 2) konsentris, dan 3) Konvergen. Berkaitan dengan Tri Kon, Faiz (2023) menjelaskan:
βPendidikan harus kontinyu, konsentris dan konvergen. Kontinyu yang berarti dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan. Konsentris artinya pendidikan harus sesuai dengan kebudayaan serta nilai luhur bangsa yang ditanamkan dalam diri generasi muda. Konvergen artinya mengembangkan mutu pendidikan Indonesia agar setara dengan kualitas pendidikan yang maju di dunia barat.Pendidikan harus dirancang secara utuh, tahap demi tahap. β¦ bila yang terjadi gonta-ganti blue print, bergonta-ganti aturan, sulit untuk terbentuk. Bila konsep-konsep kurikulum, konsep-konsep pendidikan antara yang baik dan yang baik, tinggal pilih yang paling cocok dan relevan. Selain itu, harus juga sesuai dengan budaya dan nilai-nilai kebangsaan. Jangan sampai pendidikan lepas dari konteks hidup. β¦ sisi-sisi kebudayaan, nilai-nilai kebangsaan harus kita tanamkan dalam generasi muda agar jangan sampai mereka tidak paham dalam mengenal identitasnya sendiri.β
Dari beberapa Tri Konsep tersebut, masing-masingnya harus menjadi bagian yang tidak terpisah untuk mencapai apa yang dicita-citakan oleh bapak pendidikan, yang tentunya semua itu tetap dijalankan menyesuaikan dengan tingkatan usia serta kondisi anak. Barangkali apa yang dirumuskan Ki Hadjar dengan penyesuaian kodrat pertumbuhan anak bisa membantu penyesuaian konsep-konsep tersebut. Ki Hadjar membagi kodrat anak dilihat dari usia pertumbuhannya menjadi tiga kelompok usia, yang mungkin sama dengan pendidikan anak yang ditawarkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib. Ki Hadjar, membagi tipe masa pendidikan menjadi tiga bagian;
- Usia 7 tahun pertama (1-7). Merupakan masa kanak-kanak atau kinder periode, di mana anak-anak yang tertarik dengan sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas fisik. Cara mendidik dalam periode ini dikenala dengan istilah wiraga, yakni pendidikan yang melibatkan kegiatan fisik, misalnya dengan menanamkan nilai-nilai yang baik sekaligus diikuti suatu contoh supaya ditiru.
- Usia 7 tahun ke dua (7-14) Pada rentang usia ini, sering disebut sebagai masa Intellectual periode, di mana anak-anak sedang dalam performa bagus dalam pertumbuhan penalarannya, sehingga timbul rasa penasaran yang tinggi terhadap sesuatu. Cara mendidik dalam periode usia ini baiknya dengan wirama; model pendidikan dengan mengedepankan irama, ritme, dinamika hidup. Oleh karena itu, dalam mendidik anak usia ini, perlu banyak ditekankan dapad pengajaran yang terus-menerus sambil sesekali diterapkan regering, tuch, and orde, (perintah, paksaan, dan hukuman).
- Usia 7 tahun ke tiga (14-21) Memasuki 7 tahun ke tiga, anak-anak masuk dalam masa sociale periode. Pada usia ini, anak-anak mulai mampu mengartikan secara mendalam makna bergaul dengan orang lain dan sangat peka perasaannya. Oleh karena itu, cara mendidik periode usia ini adalah dengan menerapkan apa yang disebut dengan wirasa; pendidikan yang terfokus pada menajamkan perasaan dan sikap dalam bergaul (bersosial), yang ngrasa juga nglakoni.
Berdasarkan sekilas dari beberapa konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara, kita bisa menyadari bahwa ada harapan dan kepercayaan besar yang beliau dambakan dari anak-anak yang suci untuk mengemban tujuan pendidikan Tri Rahayu, sebagaimana kutipan dari Rabindranath Tagore:
β Setiap bayi yang lahir ke dunia adalah pesan bahwa Tuhan belum putus asa kepada manusia.β
Sebagai penutup tulisan ini, mungkin satu kutipan R.M Soewardi Soerjaningrat bisa mengunci kenangan kita tentang pemikirannya dalam mengembalikan pendidikan ke kodratnya yang asali: βBerilah kemerdekaan kepada anak-anak kita, bukan kemerdekaan yang leluasa, tetapi yang terbatas oleh tuntutan-tuntutan kodrat alam yang nyata, dan menuju ke arah kebudayaan, yaitu keluhuran dan kehalusan hidup manusia. Kemudian agar kebudayaan itu dapat menyelamatkan dan membahagiakan hidup dan penghidupan diri dan masyarakat. Maka pakailah dasar kebangsaan, tetapi dasar tersebut jangan sekali-kali melanggar atau bertentangan dengan dasar yang lebih luas, yaitu dasar kemanusiaan.β
Selamat Hari Pendidikan Nasional 2024
Sumber bacaan:
Ki Hadjar Dewantara. 2004. Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Faiz, Fahruddin. 2023. Filosofi Pendidikan Anak. Yogyakarta: MJS Press.
Tsuchiya Kenji. 1992. Demokrasi dan Kepemimpinan: Kebangkitan Gerakan Taman Siswa. Jakarta: Balai Pustaka.
Efendi, M.,P.,Muhtar, T., Herlambang, T.,Y. (2023). Relevansi Kurikulum Merdeka dengan Konsepsi Ki Hadjar Dewantara: Studi Kritis dalam Perspektif Filosofis-Pedagogis. Jurnal Elementaria Edukasia Wangid, N.,M. 2009. Sistem Among pada Masa Kini: Kajian Konsep dan Praktik Pendidikan. Jurnal Kependidikan, Volume XXXIX, Nomor 2.